Oleh: Dony Setiawan
Dosen Utama Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian
Penangkapan oleh Detasemen Khusus 88 Anti-Teror Polri terhadap tersangka terorisme DE, karyawan PT Kereta Api Indonesia (KAI) pada Senin (14/8/2023), di Bekasi, Jawa Barat, kembali mengingatkan kita bahwa pelaku terorisme masih memanfaatkan ruang media sosial untuk menyebar propaganda aksi terorisme.
Sebagaimana dikutip Kompas.com, DE merupakan pendukung ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) yang pernah mengunggah poster digital dalam bahasa Arab dan Indonesia berisikan teks pembaruan baiat kepada pimpinan ISIS. DE aktif melakukan propaganda di media sosial dengan cara memberikan motivasi untuk berjihad dan menyerukan agar bersatu dalam tujuan jihad melalui Facebook, melakukan pelatihan serta mulai mengumpulkan peralatan untuk melakukan aksi. DE memiliki sejumlah akun media sosial. Akun Facebook dan Youtube miliknya pernah diblokir karena diduga melakukan propaganda aksi terorisme. Lalu, DE berganti akun dan tetap menyebarkan ajakan untuk melakukan aksi terorisme dengan menggunakan fitur private message.
Tidak hanya itu, DE yang pernah merencanakan aksi amaliah atau penyerangan ke Mako Brimob dan Markas TNI tergabung dalam grup khusus untuk penggalangan dana di grup Telegram. Bahkan, DE disebut sebagai admin dan pembuat beberapa channel atau saluran Telegram berisi perkembangan teror global yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Realitas pemanfaatan platform online oleh jaringan teroris diperkuat dengan temuan Kemenkominfo RI. Selama Juli hingga Agustus 2023, Kemenkominfo melakukan pemutusan akses terhadap 174 akun dan konten indoktrinasi paham radikalisme.
Akun dan konten tersebut di antaranya terafiliasi dengan Jemaah Ansharud Daulah (JAD) dan Jamaah Islamiah (JI), tersebar di berbagai platform media sosial. Pada 2022, BNPT juga telah menemukan 600 situs atau akun dengan 900 konten yang mengarah pada propaganda anti-NKRI, menebar konten intoleran dan paham takfiri yang menjadikan narasi kafir memicu semangat permusuhan antaranak bangsa. (Kompas.com, 29/12/2022).
Lalu pada 2021, dengan jumlah yang lebih banyak lagi, Kemenkominfo RI memblokir 20.543 konten terindikasi radikalisme terorisme yang tersebar di situs internet dan beragam platform media sosial. Kondisi di atas setidaknya menggiring kita pada beberapa pertanyaan, mengapa media online masih dimanfaatkan oleh jaringan terorisme sebagai sarana radikalisasi?
Dengan berkembangnya varian media radikalisasi online, apakah pencegahan terorisme hanya dapat dilakukan dengan cara pemblokiran dan pendekatan kontra radikalisasi? Apa yang kurang dari strategi pencegahan saat ini? Strategi pemerintah Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UU Pemberantasan TP Terorisme), strategi pencegahan terorisme di Indonesia secara garis besar dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.
Dalam UU Pemberantasan TP Terorisme dan turunanya, tidak ditemukan konsep pencegahan yang berbasis pada dimensi online. Padahal, radikalisasi terorisme tidak hanya dilakukan pada dimensi offline saja, tetapi juga pada dimensi online. Untuk menghentikan penyebaran paham radikal terorisme, UU Pemberantasan TP Terorisme mengedepankan pendekatan kontraradikalisasi yang hanya berfokus pada orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme, dengan cara melawan narasi, propaganda dan ideologi terorisme.
Dalam konteks dimensi online, strategi tersebut mengabaikan faktor “sarana atau alat” yang digunakan untuk meradikalisasi, yaitu media online atau platform digital. Padahal banyak bukti yang menunjukkan bahwa platform digital sering dieksploitasi oleh jaringan terorisme sebagai senjata untuk meradikalisasi, merekrut, mengumpulkan dana, mengintimidasi, melatih, menghasut dan menyebarkan materi propaganda (Rekomendasi Zurich-London, 2018). Terkait hal itu, Damayanti (2019) pernah mengusulkan bahwa pemerintah perlu menggabungkan penanganan terorisme melalui sarana offline maupun online.
Rekomendasi itu menjadi logis dan beralasan ketika kita dihadapkan pada kenyataan di mana dimensi offline dan online memainkan peran penting dalam proses radikalisasi sehingga tidak boleh dianggap terpisah, melainkan saling melengkapi dan saling bergantung (Council of Europe Counter-Terrorism Committee, 2023). Menggabungkan dimensi offline dan online dalam pencegahan terorisme tidak cukup hanya dengan menempatkan perusahaan media sosial untuk membantu menyampaikan pesan pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Hal ini telah ditetapkan sebagai salah satu aksi dalam Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan Dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan Yang Mengarah Pada Terorisme Tahun 2020-2024 (RAN PE). Tidak cukup juga hanya dengan pemutusan akses atau penghapusan konten yang disertai dengan pendekatan kontra narasi, tapi lebih luas lagi dengan melibatkan platform digital yang memegang peranan penting sebagai pemilik dan pemegang akses langsung terhadap infrastruktur teknologi informasi. Tanpa bantuan platform digital, rasanya pencegahan terorisme pada dimensi online akan sulit dilakukan secara maksimal.
Di Indonesia, tanggung jawab pencegahan penyebaran konten radikalisasi terorisme masih berpusat pada pemerintah. Sementara berbagai negara telah mencoba mengalihkannya kepada platform digital dengan pertimbangan kecepatan merespons dampak konten berbahaya yang berlipat ganda dalam hitungan detik melalui internet.
Pertimbangan lainnya adalah desakan kepada platform online untuk meningkatkan jumlah dan kecepatan upaya untuk mencegah konten teroris didistribusikan, diunggah atau diunggah ulang, dan menyerukan kolaborasi berkelanjutan untuk mengatasi masalah ini (G20 Osaka Leaders’ Statement, mofa.go.jp/, 2019). Contohnya saja seperti di Jerman, Perancis, Singapura, Australia dan Uni Eropa, tanggung jawab sebaran konten ilegal termasuk terorisme sudah dialihkan kepada platform digital yang dilegitimasi dengan undang-undang. Kebijakan ini diambil untuk mendorong tanggung jawab sosial platform digital untuk melindungi layanan dan pelanggannya dari konten terorisme.
Di negara-negara tersebut, platform digital diwajibkan untuk menghapus konten ilegal termasuk terorisme dalam batas waktu tertentu, membuat laporan berkala dan transparan dalam penanganan konten ilegal, menyediakan prosedur pengaduan. Selain itu merespons aduan masyarakat dan memberikan akses kepada penegak hukum, keseimbangan dalam menjamin hak digital warga negara, pendefinisian ulang “konten terorisme” untuk tujuan pencegahan, kewajiban menyimpan konten yang dihapus dalam waktu yang diperlukan, kewajiban platform digital untuk memberi informasi terkait adanya konten terorisme, penyediaan titik kontak atau penghubung, serta sanksi berupa pidana, administratif atau denda bagi platform digital yang tidak melaksanakan kewajibannya.
Sementara di Indonesia, kebijakan pengendalian terhadap platform digital yang diatur dalam Permenkominfo RI Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat merupakan kebijakan yang terpisah dari kebijakan pencegahan terorisme atau pemberantasan tindak pidana terorisme secara umum. Sekalipun Permenkominfo RI tersebut sudah banyak mengadopsi ketentuan perundang-undangan negara lain terkait pengendalian platform digital, masih banyak pihak yang mengkritik, menolak dan bahkan meminta untuk dicabut atau merevisinya menjadi undang-undang. Pascadisahkannya Permenkominfo RI tersebut, pemerintah belum pernah mengumumkan implikasi aturan tersebut terhadap tingkat kepatuhan platform digital. Platform mana saja yang patuh dan mana yang tidak patuh serta sanksi apa yang diberikan bagi yang tidak patuh terhadap kewajibannya dalam menindaklanjuti ketentuan mengenai pemblokiran konten ilegal khususnya konten terorisme.
Harapan Terkait uraian di atas, diharapkan pemerintah dapat mengkaji kembali kerangka regulasi dan strategi pencegahan terorisme saat ini dengan tujuan merumuskan strategi yang lebih komprehensif. Untuk mewujudkannya, pemerintah perlu mempertimbangkan potensi untuk menggabungkan pendekatan pencegahan yang berbasis pada dimensi online maupun offline, mengingat keduanya sama-sama penting dan saling terkait. Selain itu, pemerintah juga diharapkan dapat menggabungkan pendekatan berbasis pada pemblokiran atau pemutusan akses terhadap konten terorisme dengan pendekatan kontra radikalisasi agar keduanya berjalan beriringan dan tidak parsial. Pemerintah dapat memulainya dengan mempelajari praktik-praktik terbaik dari negara-negara lain yang sudah terbukti berhasil mengendalikan platform digital dalam mendukung upaya pencegahan terorisme. Pemerintah juga harus membuka ruang konsultasi dan kolaborasi dengan akademisi, praktisi, ahli dan komunitas siber, penyedia jasa internet, platform digital dan masyarakat untuk bersama-sama merumuskan strategi pencegahan terorisme yang komprehensif dan berpotensi memberikan efek cegah yang signifikan.
Upaya-upaya tersebut harus dilandaskan pada tekad yang kuat untuk memberikan perlindungan kepada warga negara dari ancaman terorisme dan adaptif terhadap perubahan dalam mengatasi tantangan keterbatasan sumber daya, tuntutan untuk mengadopsi pendekatan multi pihak, berkembangnya varian sarana online yang sering dimanfaatkan oleh jaringan terorisme serta inisiatif untuk mendorong tanggung jawab sosial platform digital agar berperan aktif menjadi bagian dari strategi pencegahan terorisme di Indonesia. (***)