Mengembalikan Fungsi Media Massa
Oleh: Niko Trisusilo, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
Pendahuluan
Era digitalisasi sungguh telah membuat perubahan disemua aspek kehidupan, baik dari segi ekonomi, politik, sosial dan budaya. Tak terlepas juga media yang menyebarkan informasi ke pelosok tanah air juga ikut terpengaruh. Dulu penyebaran informasi melalui media massa hanya menggunakan koran, majalah, kini sudah berubah menjadi media elektronik yang disebut juga dengan istilah new media (media baru). Untuk mendapatkan informasi dari pelosok tanah air maupun sampai ke manca negara hanya dengan sebuah genggaman gawai dan tidak lagi menggunakan sebuah kertas. Penyampaian berita pun sangat cepat, pesat serta actual. Dengan semakin berkembangnya media baru ini, mengubah gaya hidup masyarakat dalam mendapatkan informasi, media massa konvensial seperti koran, majalah dan televisi perlahan mulai ditinggalkan. Untuk menghadapi tantangan ini, media cerak juga berinovasi dengan melakukan konvergensi yaitu menggabungkan dari beberapa jenis media dan hadir dalam bentuk digital. Jika media konvensional tidak mampu menghadapi tantangan ini, maka tentu saja media tersebut akan ditinggalkan oleh masyarakat.
Tantangan yang dihadapi oleh media konvensional (media cetak) tidak saja dari media baru (media resmi yang berubah ke online), namun juga datang dari media baru lainnya seperti Facebook, Twitter, Instagram dan Tiktok. Orang sungguh sangat mudah untuk membuat berita, konten atau narasi baik itu sebuah informasi maupun iklan dengan media baru tersebut. Dengan mudahnya akses oleh semua orang pada era digitalisasi ini, penyebarannya pun sangat cepat, masif dan realtime. Pembaca media online terus naik secara signifikan karena media online tidak saja menyediakan informasi, namun juga promosi-promisi produk makanan, minuman, kendaraan, pakaian dan sebagainya. Sebuah pasar pun juga sudah terbentuk pada dunia digitalisasi. Rosemarwati dan Lindawati pada jurnalnya tahun 2019 yang berjudul penggunaan media sosial sebagai sumber berita oleh jurnalis media daring di Indonesia menunjukan sebuah riset bahwa 9 dari 10 jurnalis menggunakan media sosial sebagai sumber berita meski mayoritas masih menjadikannya sebagai sumber sekunder.
Latar Belakang
Semakin tingginya kebutuhan masyarakat terhadap informasi pada era digitalisasi membuat peluang baru bagi industri dunia jurnalistik untuk memberikan berita yang cepat, akurat serta terpercaya dan berimbang. Para produsen media online berlomba-lomba untuk menyajikan berita secara cepat dan akurat untuk mengejar elektabilitas sehingga mendapatkan viewer yang banyak. Fenomena ini tentu saja membuat beberapa dari media terlalu cepat membuat sebuah berita tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Ini dapat terlihat dari sebuah kasus pemberitaan tentang “prestasi” Dwi Hartanto pada tahun 2015. Beberapa media tercatat memuat berita tentang dia. Detik.com tanggal 15 Juni 2015 dengan memuat judul “ Dari Belanda, Putra Indonesia sukses ciptakan wahana mutakhir luar angkasa”, Okezone.com memuat judul “Penerima Beasiswa Kominfo luncurkan roket Belanda” pada tanggal 2 Juli 2015. Selain itu pada tanggal 3 Juli 2015, Antaranews.com menuliskan berita dengan judul “mahasiswa Indonesia di Belanda luncurkan satelit”.
Mediaindonesia.com menuliskan berita dengan judul “peluncur satelit karya anak bangsa” pada tanggal 1 Agustus 2015. Media yang secara khusus mengulas profil Dwi Hartanto adalah Metro TV. Profil Dwi ditayangkan pada program utama Mata Najwa goes to Netherlands dengan judul episode jejak bapak bangsa (5) pada tanggal 14 November 2016. Dalam program tersebut, Najwa Sihab mewawancarai Dwi Hartanto sangat mendetail mulai dari hasil karya yang telah dilakukan sampai dengan mempertanyakan isu tentang kepindahan kewarganegaraan, jika dibandingkan dengan klarifikasi Dwi Hartanto setelah itu hampir sebagian berbanding terbalik, atau berputar 180 derajat.
Era digitalisasi yang ada saat sekarang sangat memudahkan masyarakat untuk mencari informasi dan mengujinya, sehingga perlahan terbongkar lah kebohongan yang dilakukan oleh Dwi Hartanto. Yang membuat pilu bukanlah kebohongan yang dilakukan oleh Dwi Hartanto, tapi peran media massa disini tidak lagi menyajikan berita yang akurat, tepat dan terpercaya. Berita sudah dimuat dan menyebar dengan sangat mudahnya kepelosok tanah air maupun ke manca negara, namun itu tanpa dilakukan verifikasi terlebih dahulu, sehingga masyarakat merasa dibohongi.
Pada buku Jurnalistik Dasar untuk Pemula (2020) karya Fenny Theresia dkk, disebutkan bahwa Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menyebutkan ada sepuluh elemen jurnalisme, yang mana salah satunya yaitu esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Elemen jurnalisme ini merupakan elemen pembeda utama antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, karya fiksi dan karya seni. Verifikasi merupakan upaya pemeriksaan kebenaran laporan atau informasi ke pihak terkait. Dalam dunia jurnalisme, proses verifikasi sangatlah penting karena wartawan harus melakukan pengecekan, konfirmasi, serta membuktikan kebenaran dari sebuah informasi. Hal ini terlepas dari Dwi Hartanto telah melakukan klarifikasi tentang apa yang telah disampaikan sebelumnya merupakan hal yang melebih-lebihkan atau kebohongan.
Kritisnya masyarakat pada era digital ini membuat pengguna secara aktif mencari kepastian sebuah berita atau informasi, karena sebuah informasi atau berita bisa saja menjadi tuntunan dalam bertindak. Namun tidak sedikit juga masyarakat yang secara pasif menerima berita atau informasi tersebut tanpa melakukan klarifikasi terlebih dahulu, ditambah lagi juga dibantu penyebarannya oleh media lainnya seperti Facebook, Twitter, Instagram dan Tiktok. Namun jika pengguna media sudah mengetahui tentang kebenaran dari sebuah informasi dan berita tersebut, tentunya akan membuat kekecewaan sehingga akan menyebabkan penurunan tingkat kepercayaan masyarakat pada media.
Permasalahan
Permasalahan yang akan muncul tidak saja dari esensi dari sebuah media tersebut sebagai sarana informasi dan berita yang tidak diverifikasi terloebih dahulu esensinya, tetapi juga terletak pada pemanfaatannya. Media saat ini juga dijadikan lahan subur untuk penyebaran berita bohong atau hoax, karena sebagian besar dari masyarakat sangat mudah percaya dalam menerima sebuah berita dan informasi ditambah lagi terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. Berdasarkan data Kemenkominfo menyebutkan bahwa ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Era digitalisasi sudah disalahgunakan masyarakat tertentu untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya dengan cara menyebarkan konten-konten negatif atau informasi yang sengaja dipotong sehingga narasinya menjadi ambigu dan tentu saja ini akan menimbulkan keresahaan dan saling mencurigai di khalayak pengguna media.
Reuters Institute melakukan survei tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media massa di kawasan Asia Pasifik dengan total 46 Negara yang disurvei. Indonesia memiliki tingkat kepercayaan rata-rata adalah 42%, menjadi negara kelima terendah di Asia Pasifik untuk tingkat kepercayaan pada berita media massa.
Maksud dan Tujuan
a. Untuk memberikan masukan kepada Pemerintah agar media kembali kepada fungsi aslinya dalam menyediakan informasi ke publik;
b. Untuk memberikan masukan kepada Pemerintah agar membuat regulasi yang lebih jelas agar media tidak disalahgunakan oleh sebahagian orang yang menyebarkan kebohongan atau hoax.
Analisisa SWOT
a. Strenght (kekuatan)
1) UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers;
2) Lembaga pengawas media (Dewan Pers)
b. Weakness (kelemahan)
1) Kurangngya verifikasi dalam pemberitaan;
2) Media massa banyak dikuasai oleh tokoh Politik sehingga membuat stigma tidak berimbang dalam pemberian informasi;
3) Media massa banyak dikuasai oleh sekelompok kaum kapitalis, sehingga sudah beralih ketujuan bisnis.
c. Opportunities (peluang)
1) Masyarakat masih haus akan sebuah informasi yang terpercaya;
2) Media massa menjadi satu-satunya media informasi yang dapat dipercaya dan berimbang;
3) Masyarakat masih belum bisa lepas bahkan sudah tahap kecanduan untuk mencari sebuah informasi pada era digitalisasi dengan pemanfaatan gadget.
d. Threat (ancaman)
1) Menurunnya tingkat kepercayaan terhadap media;
2) Masyarakat tidak akan mempedulikan bahkan tidak akan melihat informasi yang disampaikan oleh media;
3) Masyarakat yang punya kepentingan akan menciptakan sebuah wadah baru untuk sebuah informasi namun dapat menyesatkan.
Kesimpulan dan saran
Berdasarkan latar belakang serta permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa, media masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam penyediaan informasi yang cepat, akurat, terpercaya dan berimbang. Kebutuhan akan informasi pada era digitalisasi sekarang sudah seperti kebutuhan pokok, maka kami memberikan masukan kepada Pemerintah untuk membuat regulasi yang jelas dan nyata agar media massa kembali lagi pada fungsi aslinya memberikan informasi pada publik (masyarakat) secara akurat, terpercaya dan berimbang. Pemerintah memberikan perhatian khusus dalam melakukan pengawasan agar media massa tidak menjadi alat untuk penyebar kebohongan sehingga masyarakat tidak percaya lagi pada media.
Berdasrkan kesimpulan diatas, dapat disarankan kepada Pemerintah untuk :
a. Membuat punishment yang jelas kepada media yang menyebarkan kebohongan;
b. Melakukan patroli siber untuk mencegah penyebaran berita bohong;
c. Membuat regulasi yang jelas dalam memberikan izin media massa;
d. Membuat regulasi terhadap pengguna media baru seperti Facebook, Twitter, Instagram dalam membuat berita dan informasi serta penyebarannya.